Sebuah desa yang mengalami kebutaan, lebih dari 3 bulan setelah Kades dilantik, tidak membuat RPJMDes, bulan Juli sampai bulan September tidak membuat RKPDes, bulan Oktober sampai Desember juga tidak membuat APBDes.
Bulan Januari baru mulai merancang APBDes. Pesan pihak ketiga. Bulan Maret baru jadi.
Bulan April dana transfer cair. Diambil, dibawa, dan dibelanjakan sendiri.
Bulan Mei baru mikir LPPDes dan LPRP-APBDes tahun sebelumnya. Minta tolong pihak ketiga.
Perjalanan aktivitas sebagaimana uraian di atas, BPD tidak tahu, aparat desa hanya sebagian yang tahu, rakyat hampir tidak ada yang tahu sama sekali.
Potret di atas menunjukkan yang saya sebut sebagai “Desa Yang Mengalami Kebutaan”.
Mengapa demikian? Karena:
1. RPJMDes itu petunjuk arah perjalanan desa selama 6 tahun (selama masa jabatan Kades) yang harus dibuat dan ditetapkan sebagai Perdes selambat-lambatnya 3 bulan setelah Kades dilantik.
2. RKPDes itu tetapan program kegiatan desa selama 1 tahun anggaran yang harus ditetapkan sebagai Perdes selambat-lambatnya 3 bulan sebelum tahun anggaran berjalan (30 September).
3. APBDes itu tetapan anggaran kegiatan desa selama 1 tahun anggaran yang harus ditetapkan sebagai Perdes selambat-lambatnya 1 hari sebelum tahun anggaran berjalan (31 Desember).
4. LPPDes dan LPRP-APBDes itu laporan program kegiatan dan anggaran desa selama 1 tahun anggaran yang harus ditetapkan sebagai Perdes selambat-lambatnya 3 bulan setelah tahun anggaran berjalan (31 Maret).
5. Tahun anggaran berjalan itu mulai 1 Januari s.d. 31 Desember.
Desa sebagaimana gambaran di atas jelas dijalankan dengan meraba-raba, laksana orang buta. Asal kepegang, ya itu yang dijalankan. Kondisi tersebut juga memberi petunjuk kepada kita tentang:
1. Roda pemerintah desa stagnan dan/atau berpusat pada satu orang.
2. BPD tidak tahu, tidak mampu, dan/atau tidak mau berbuat apa-apa.
3. Para pembina tidak tahu, tidak mampu, dan/atau tidak mau memenuhi kewajiban, kewenangan, dan tanggungjawabnya.
4. Figur local genius bersikap masa bodoh, dan tidak mau mengambil konsekwensi logis status sosialnya atas kondisi desanya.
5. Rakyat apatis, bahkan takut konsekwensi logisnya meskipun tidak hanya dibodohi, melainkan dijahati.
Sangat layak potret desa di atas telah terjadi penjahatan terhadap rakyat secara komunal dengan modus desa buta.
Baca juga:
Perencanaan Yang Baik Menjadi Jantung Kemandirian Desa